Selasa, 21 Juni 2011

Penempatan TKI Korea Rawan Percaloan

Jakarta, BNP2TKI (16/06) -- Penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Korea rentan dimanfaatkan praktik percaloan. Biasanya praktik percaloan itu dibumbui dengan kedok memberikan jasa yang bisa mengurus segala persyaratan pekerjaan calon TKI dan TKI yang meminati bekerja di Korea.

"Petugas Call Center TKI hendaknya mewaspadai bilamana menemui oknum yang berlagak memberikan jasa bisa mengurus persyaratan kerja calon TKI maupun TKI itu. Yang kerap dijadikan sasaran kebanyakan calon TKI dan TKI yang mau bekerja di Korea," pesan Kepala BNP2TKI, Moh Jumhur Hidayat, kepada para petugas Call Center TKI, di sela-sela meninjau Gedung Crisis Center dan persiapan launching Call Center TKI, di Jakarta, Rabu (15/06) kemarin.

Dengan didampingi Deputi Bidang Perlindungan BNP2TKI, Lisna Yoeliani Poeloengan, Jumhur menjelaskan, penempatan TKI Korea ini rawan dimanfaatkan percaloan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Modus yang sering dijadikan praktik percaloan biasanya pada saat calon TKI atau TKI ketika sending, Standard Labor Contrac (SLC), dan bahkan pada saat Certiovicate Confirmation of Visa Issuance (CCVI).

“Para petugas Call Center TKI hendaknya menguasai dan mencermati permasalahan-permasalahan mengenai TKI ini, khususnya penempatan TKI Korea. Sehingga ketika mendapati pengaduan dari TKI maupun keluarga TKI bisa menjelaskan dengan tepat,” kata Jumhur.

Sedangkan Direktur Pelayanan Penempatan Pemerintah BNP2TKI, Haposan Saragih -- yang saat itu tengah memberikan briefing ke-22 petugas Call Center TKI tentang petunjuk teknis penempatan TKI ke Korea -- menjelaskan, penempatan TKI ke Korea itu dilakukan antar pemerintah (Government to Government/G to G). Tidak ada pemungutan biaya terhadap calon TKI maupun TKI, kecuali yang telah ditentukan kurang lebih Rp 9 juta.

Ketentuan biaya itu pun, kata Haposan, jelas peruntukkannya, seperti untuk biaya medical check up, paspor, visa, dan tiket berangkat ke Korea.

Haposan menambahkan, untuk bekerja di Korea syarat minimal pendidikan calon TKI maupun TKI hanya setingkat SLTP dan usia tidak melebihi 35 tahun. Selain itu calon harus lulus tes Employment Permit Sistem (EPS) yang dibuktikan dengan sertifikat EPS-TOPIK yang dikeluarkan oleh Development Service of Korea (HRD Korea).

“Soal kelulusan EPS TOPIK ini yang menentukan adalah pihak pemerintah Korea, bukan pemerintah Indonesia (BNP2TKI,red.). BNP2TKI dalam hal ini hanya sebatas memfasilitasi pelaksanaan tes,” katanya.

Percaloan terhadap calon TKI dan TKI ke Korea ini, Haposan mengaku, seringkali mendapatkan komplain terkait biaya dari para calon TKI maupun TKI yang mau bekerja ke Korea. “Dalam hal penempatan TKI ke Korea dengan program G to G, pemerintah (BNP2TKI) tidak memungut biaya kecuali yang sudah ditentukan. Untuk jumlahnya kurang lebih sekitar Rp 9 juta, dan itu pun peruntukannya sudah jelas,” papar Haposan.

Adapun komplain yang kerap dikeluhkan calon TKI dan TKI ke Korea adalah, biaya saat sending sebesar antara Rp 6 juta – Rp 7 juta, biaya SLC sekitar Rp 2 juta, dan biaya CCVI sekitar Rp 3 juta. Biaya-biaya tersebut, jelas Hapisan, tidak ada sama sekali atau tidak dipungut.

Haposa menduga rawannya praktik percaloan terhadap calon TKI dan TKI ke Korea ini, diduga karena dua faktor. Pertama, rendahnya persyaratan minimal pendidikan calon TKI maupun TKI (setingkat SLTP). Kedua, gaji TKI di Korea cukup tinggi, yakni antara Rp 13 juta sampai Rp 19 juta. Tergantung jenis, tingkat dan beban pekerjaan yang dikerjakan.

“Rupanya kedua hal inilah yang dimanfaatkan oknum calo memperdayai calon TKI dan TKI Korea. Karenanya petugas Call Center TKI harus menguasai permasalahan-permasalahan mengenai TKI. Sehingga nantinya bisa menjelaskan dan memberikan solusi dengan tepat, ketika mendapatkan pengaduan dari TKI maupun keluarga TKI,” kata Haposan.***(Imam Bukhori)

Sumber BNP2TKI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar